MUARA TEWEH - Beberapa anggota DPRD Kabupaten Barito Utara diduga tak ingin diwawancarai saat momen peringatan Hari Sumpah Pemuda yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Barito Utara, di Arena Terbuka Tiara Batara Selasa, 28 Oktober 2025.
Dari tiga anggota dewan yang coba diminta wawancara oleh wartawan, satu Anggota Legislatif (Aleg) menolak secara tegas enggan diwawancara dengan melambaikan tangan menunjukkan gestur tidak ingin berkomen.
"Padahal saya sudah sampaikan izin mencoba minta statmen agar anggota dewan Barut bicara sebagai wakil rakyat memberikan pesan-pesannya kepada pemuda di Barito Utara pada momen HSP ini," kata si wartawan.
Dua anggota dewan lainnya saat coba dikonfirmasi agar diwawancara, menyebut untuk menunggu.
"Kena dulu lah, aku kesitu dulu," ucap salah satu wakil rakyat yang hadir coba diwawancara.
"Sementara satu anggota dewan memang saat itu sedang mengangkat telpon, tapi saya sudah izin dan beliau mengatakan tunggu. Beberapa menit saya tunggu, ternyata yang bersangkutan tidak tahu kemana, dan saat saya hubungi via Whatsapp di hari itu untuk mengkonfirmasi ulang, yang bersangkutan justru mengatakan nanti dulu sampai dengan hari ini Jumat tidak ada jawaban," ungkap si wartawan.
Sikap ini tentu sangat disayangkan, sebagai wakil rakyat tentu perlu informasi disetiap kegiatan agar publik tahu sepak terjang wakil rakyat yang dipilihnya.
Menanggapi sorotan ini, pengamat politik Dr. Ricky Zulfauzan, M.IP, menilai sikap ini tidak hanya menghambat kerja jurnalis, tetapi lebih jauh melanggar hak hukum publik untuk memperoleh informasi.
Ia menegaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, tugas dan fungsi lembaga legislatif pada hakikatnya adalah untuk kepentingan publik. Oleh karena itu, ketersediaan anggota dewan dalam memberikan informasi merupakan bagian dari akuntabilitas mereka.
“Secara hukum, wartawan memiliki hak untuk meliput dan memperoleh informasi dari anggota legislatif. Mereka adalah representasi suara rakyat yang bekerja dengan menggunakan anggaran negara. Artinya, ketika mereka tidak menanggapi wartawan, tindakan itu dapat dimaknai sebagai menghalangi kerja wartawan. Dan pada akhirnya, menghalangi hak masyarakat untuk tahu,” tegas Ricky Zulfauzan saat diwawancarai, Sabtu (1/11/2025).
Ricky menjelaskan, sikap enggan berbicara ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari ketidaksiapan menghadapi media, kekhawatiran atas salah tangkap, hingga tidak menguasai substansi masalah yang ditanyakan. Namun, alasan apapun, menurutnya, tidak dapat mengabaikan kewajiban konstitusional untuk transparan.
“Publik berhak memantau kinerja wakilnya. Bagaimana mereka menyusun undang-undang, bagaimana mereka menggunakan hak anggaran, dan bagaimana mereka melakukan fungsi pengawasan terhadap pemerintah. Jika akses informasi dari sumber primer, yaitu anggota dewan itu sendiri, tertutup, maka yang terjadi adalah kegelapan informasi dan melemahnya kontrol publik,” papar Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Palangkaraya tersebut.
Ia mendorong agar para anggota dewan lebih proaktif dan terampil dalam berkomunikasi dengan media. Bagi Ricky, media adalah jembatan vital yang menghubungkan proses politik di gedung dewan dengan konstituen di akar rumput.
“Menjadi anggota dewan bukan hanya tentang kemampuan lobi di dalam gedung, tetapi juga tentang kemampuan menjelaskan dan mempertanggungjawabkan pilihan dan kebijakannya di ruang publik. Mengabaikan media sama saja dengan mengabaikan rakyat yang mereka wakili,” pungkas Ricky Zulfauzan.