Pemilu Dan Integrasi Politik

photo author
- Jumat, 17 Juni 2022 | 13:09 WIB
Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA) (Kaltenglima.com)
Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA) (Kaltenglima.com)

KALTENGLIMA.COM - Secara resmi tahapan Pemilu 2024 di mulai pada 14 Juli 2022 atau 20 bulan sebelum hari pelaksanaan pemungutan suara. Pemilu 2024 menjadi pemilu kedua di era reformasi yang bersifat serentak nasional dengan lima kotak suara, yaitu (1) memilih presiden-wakil presiden, (2) memilih anggota DPD, (3) memilih anggota DPR RI, (4) memilih anggota DPRD Provinsi, dan (5) memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota.

Pelaksanaan Pemilu 2024 diharapkan menjadi sarana integrasi politik, setelah dua pemilu sebelumnya (2014 dan 2019) terjadi pembelahan ditengah-tengah masyarakat. Pembelahan politik terjadi disebabkan terdapat dua pasangan calon presiden dan wakil presiden serta kemunculan narasi politik identitas.

Pembelahan politik selama dua kali pemilu telah menguras energi bangsa, tentu hal ini menjadi kontra produktif bagi pembangunan demokrasi Indonesia kedepan, terlebih bila pembelahan politik berbasis politik identitas kembali terjadi di Pemilu 2024. Tentunya akan menggerus rasa kebinekaan yang membahayakan proses integrasi kebangsaan kita.

Berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) salah satu penyebab turunnya indeks demokrasi sebuah negara terletak pada kebebasan sipil dan kultur politik, terutama menguatnya intoleransi dan politik identitas. Maka menjadi keniscayaan bagi semua komponen bangsa untuk berusaha menciptakan tradisi berkontestasi politik secara subtansi, berintegritas moral, dan berkomitmen  kebangsaan.

Kemunculan politik identitas dalam kompetisi elektoral memiliki tujuan jangka pendek, yaitu meraih suara sebanyak-banyaknya dari pemilih, dengan menempuh pendekatan bersifat populis, menciptakan ruang imajinasi kontradiksi antara kelompok kita dengan kelompok mereka. Dalam praksis berdemokrasi politik identitas lumrah terjadi dimana-mana, bahkan hampir semua negara menganut sistem demokrasi pernah mengalaminya, artinya terdapat kelompok atau kekuatan politik menggunakan politik identitas untuk meraih dukungan suara, salah satu contohnya kemenangan Donald Trump dalam pemilu di negara Amerika Serikat.

Hanya saja pendekatan politik identitas memiliki resiko tinggi, lambat laun akan mematikan rasa toleransi serta penghormatan atas keragaman di tengah-tengah masyarakat, jadi penggunaan politik identitas harus dihindari.

Pelaksanaan Pemilu 2024 menjadi harapan kita semua, agar terjadi transformasi berskala besar meningkatnya kualitas berpolitik dan berdemokrasi di republik ini, kita sudah lelah dan jenuh, dengan ruang publik kerap diisi narasi kebencian dan kebohongan.

Kompetisi  elektoral idealnya menggunakan pendekatan berbasis program partai, kinerja politik, dan rekam jejak kandidat. Karena sesungguhnya dunia politik merupakan industri pemikiran-gagasan yang mengajak rakyat berpikir secara kritis ketika menentukan pilihan, sudah sewajarnya alam pikir masyarakat diajak meninggalkan aspek primordial-emosional untuk digantikan pertimbangan bersifat rasional.

Menyudahi pembelahan ditengah masyarakat, akibat warisan dua pemilu sebelumnya menjadi keniscayaan, dengan menjadikan Pemilu 2024 sebagai salah satu sarana integrasi politik (mempersatukan).

Terdapat beberapa langkah menjadikan pesta demokrasi (pemilu) sebagai sarana integrasi politik.

Pertama, kompetisi elektoral harus dipahami tidak sekedar persaingan memperebutkan ceruk pemilih saja, tetapi proses suksesi kepemimpinan yang memiliki tujuan sama dari semua kontestan pemilu, yaitu melakukan perubahan politik ke arah lebih baik, siapapun pemenangnya rakyat harus memberikan dukungan dan melakukan pengawasan atas jalannya kekuasaan.

Kedua, pemilu sarana perubahan politik bersifat damai, rakyat bisa melakukan reward dan punishment, mempertahankan penguasa telah menjalankan mandat politik secara baik dan benar, atau menggantinya dengan aktor politik lain dinilai mampu mengemban amanat baru. Proses suksesi secara damai ini harus betul-betul dimanfaatkan para pemilih, perubahan kebijakan dan kepemimpinan bisa dilakukan secara damai-konstitusional.

Ketiga, pemilu sarana pendidikan politik, bagaimana menentukan pilihan politik menggunakan pertimbangan nalar kritis dan rasionalitas, pemilu menjadi alat rakyat mengukur kapasitas intelektual dan manajerial lapangan para kandidat, artinya rakyat berkuasa penuh memberikan penilaian kritis.

Langkah-langkah tersebut merupakan penyadaran kognitif bahwa kontestasi pemilu merupakan pesta demokrasi harus disambut suka cita dan kegembiraan, pemilu harus menjadi alat mempersatukan semua komponen kebangsaan, menuju integrasi politik sesungguhnya. Perbedaan pilihan merupakan keniscayaan dalam berdemokrasi, tetapi perbedaan itu harus mempersatukan bukan perpecahan.*

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Deni Hariadi

Tags

Rekomendasi

Terkini

Japan Open 2023 : Jonatan Christie Runner-up

Minggu, 30 Juli 2023 | 23:09 WIB

Pengaruh Penjadwalan Jangka Pendek Pada UMKM

Senin, 26 Desember 2022 | 08:48 WIB

WACANA KOALISI SEMUT MERAH

Senin, 20 Juni 2022 | 05:59 WIB

Pemilu Dan Integrasi Politik

Jumat, 17 Juni 2022 | 13:09 WIB

Perseteruan Dengan Alam Semesta

Kamis, 24 Maret 2022 | 08:01 WIB
X