kaltenglima.com -Di Pagaralang, Tanjungpandan, Pulau Belitung laki-laki itu lahir. Namanya Ahmad. Anak sulung dari 5 bersaudara. Diperkirakan ia lahir tahun 1923. Ayahnya seorang mantri polisi kehutanan di Belitung, negeri kelahiran Andrea Hirata. Penulis buku Laskar Pelangi.
Ayahnya bernama Abdullah Aidit. Karena itulah Ahmad bernama lengkap; Ahmad Aidit. Ayahnya pernah menjadi anggota DPR-RIS atau DPRS-RIS sebagai utusan daerah Belitung. Sekaligus mewakili angkatan ‘45
Selepas sekolah di Tanjungpandan, Ahmad minta izin kepada ayahnya untuk melanjutkan sekolah ke Batavia. Umurnya ketika itu baru 13 tahun. Di kampungnya sekolah paling tinggi cuma Hollandsch Inlandsche School. Setingkat sekolah dasar di masa kolonial.
Untuk masuk sekolah menengah--dikenal dengan nama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)--pemuda-pemuda pulau itu harus merantau ke Medan atau ke Batavia. Setelah merdeka Batavia kemudian bernama Jakarta.
Karena ayahnya hanya pegawai rendah, Ahmad selalu berfikir mencari uang sendiri untuk tembahan uang jajannya.
Setiap ada pertandingan sepak bola di kampungnya, Ahmad selalu hadir. Bukan untuk menonton dua kesebelasan saling membobol gawang lawan. Tapi untuk berdagang. Dibelinya nenas. Dikupas dan dipotongnya kecil-kecil. Lalu dijualnya kepada penonton pertandingan sepak bola itu.
Ahmad tumbuh dan besar di lingkungan keluarga penganut Islam yang taat. Ayahnya aktif sebagai pendiri Perguruan Nurul Islam, sebuah organisasi kemasyarakatan Islam yang kecenderungannya dekat dengan Muhammadiyah. Semasa masih tinggal di Belitung, Ahmad Aidit bahkan tiga kali khatam Quran.
Sewaktu sudah menetap di Batavia, Ahmad Aidit mengganti namanya menjadi D.N Aidit. Sejarah menyebut tokoh PKI itu dengan nama Dipa Nusantara Aidit. Dia sering disebut-sebut berdarah Minangkabau. Karena itu ada pula yang mengatakan, D.N adalah singkatan Djafar Nawawi.
Ada pula sejarah yang mengatakan, Nama Dipa Nusantara dipakai Aidit untuk menghormati jasa pahlawan nasional Pangeran Diponegoro. Aidit berharap, penggunaan nama Dipa itu bisa memantik inspirasi dan semangatnya untuk membebaskan Nusantara dari cengkeraman kolonialisme. Persis seperti yang dilakukan Pangeran Diponegoro.
Selepas huru-hara G-30 S-PKI , Ahmad Aidit, alias Dipa Nusantara Aidit, alias Djafar Nawawi Aidit ditangkap di Desa Sambeng, dekat Solo, Jawa Tengah, pada 22 November 1965 malam. Esok paginya ia ditembak mati. Kematian Aidit mengubur saksi sejarah pembunuhan 7 jenderal TNI angkatan darat.
Selepas itu, Andapun sudah tahu. hampir 1 juta penduduk Indonesia tewas. Bahkan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) mengklaim jumlah korban tewas dalam tragedi pasca gerakan 30 September 1965 lebih dari 3 juta orang.
12 ribu orang lainnya “dibuang” ke Pulau Buru. Sebagian besar tak pernah ditanya majelis hakim di pengadilan, apa kesalahan mereka.
Selanjutnya tak usah saya ceritakan. Andapun jauh lebih tahu. Presiden Soekarno tumbang. Sejumlah mentri kabinet ditangkap. Soeharto dengan secarik kertas Surat Perintah Sebelas Maret tampil di atas panggung. 32 tahun lamanya. Menjadi Presiden Republik Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
“Halo Bro….
Piye kabare? Sik enak jamanku tho?
Artikel Terkait
Berikanlah Sedekah dengan Ikhlas, Pahala Akan Mengalir Terus
Ayo Kenali Tanda Gejala Varian Omicron di Kulit
Sedekah Subuh akan Didoakan Malaikat kata Syekh Ali Jaber
Bung Karno – Inggit Pelakor-Pebinor?
Regulasi Suara Toa