KALTENGLIMA.COM - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada Senin, 27 Januari, menandatangani perintah eksekutif yang melarang individu transgender untuk bertugas di militer AS.
Kebijakan ini menuai kritik luas dari komunitas LGBTQ dan dianggap sebagai langkah mundur dalam upaya memperjuangkan hak-hak transgender.
Trump beralasan bahwa kebijakan ini bertujuan meningkatkan efisiensi militer dengan menghindari apa yang ia sebut sebagai pengaruh "radikalisme gender."
Baca Juga: PM Prancis sebut Elon Musk bisa Jadi Ancaman Bagi Demokrasi
Ia juga menilai keberadaan pasukan transgender dapat mengganggu solidaritas dan kesiapan militer.
Langkah ini mengembalikan kebijakan serupa yang pernah diterapkan selama masa jabatan pertamanya.
Diperkirakan terdapat sekitar 15.000 personel transgender dari total dua juta anggota militer AS.
Baca Juga: WNI Korban Penembakan di Malaysia Bakal Dipulangkan usai Otopsi Selesai
Larangan ini memicu kekhawatiran akan semakin sulitnya perekrutan personel baru, di tengah tantangan yang sudah dihadapi militer AS.
Kebijakan ini juga menjadi kemunduran dari kebijakan progresif yang diterapkan pada era Barack Obama.
Pada 2016, pemerintahan Obama membuka pintu bagi individu transgender untuk bertugas secara terbuka di militer.
Baca Juga: Kereta Cepat Whoosh Pecahkan Rekor Penumpang Harian Terbanyak dalam Sehari
Namun, kebijakan ini sempat dicabut pada masa jabatan pertama Donald Trump, sebelum akhirnya kembali diberlakukan oleh Presiden Joe Biden pada 2021.
Langkah terbaru ini dipandang sebagai pukulan besar bagi hak-hak LGBTQ, menimbulkan perdebatan tentang inklusivitas dan hak individu di institusi militer AS.