Akibatnya, minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) ditolak dengan alasan tidak ekonomis dan tidak sesuai spesifikasi, padahal faktanya masih layak diolah.
Hal ini menyebabkan minyak dalam negeri diekspor, sementara kebutuhan dalam negeri justru dipenuhi melalui impor dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Selain itu, SDS, AP, RS, dan YF bekerja sama dengan broker minyak, yakni MK, DW, dan GRJ, untuk mengatur harga secara sepihak.
Baca Juga: Bupati Tapanuli Tengah Masinton Sebut Semua Kepala Daerah PDIP Hadir Retret
Mereka diduga melakukan pengkondisian pemenangan broker, mark-up harga, serta menyetujui pembelian minyak impor dengan harga tinggi melalui mekanisme spot yang tidak memenuhi persyaratan.
Lebih lanjut, tersangka RS diduga mengimpor BBM jenis RON 92, namun yang dibeli sebenarnya adalah RON 90 yang kemudian diolah ulang.
Selain itu, YF diduga melakukan mark-up kontrak pengiriman minyak impor, yang mengakibatkan negara harus membayar biaya tambahan sebesar 13-15 persen.
Baca Juga: Bejat! Pria di Jember Perkosa Bocah 11 Tahun Lagi Mandi di Sungai
Serangkaian praktik ilegal ini tidak hanya menyebabkan kerugian negara senilai Rp 193,7 triliun, tetapi juga berdampak pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Akibatnya, pemerintah harus mengalokasikan subsidi yang lebih besar dari APBN untuk menjaga harga BBM di masyarakat.
Atas perbuatan mereka, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 juncto Pasal 3 juncto Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.