KALTENGLIMA.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka peluang untuk memanggil siapa pun yang diduga memiliki informasi terkait dugaan korupsi kuota dan penyelenggaraan haji periode 2023-2024, termasuk Presiden ke-7 RI Joko Widodo yang saat itu masih menjabat.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyampaikan bahwa pemanggilan saksi akan dilakukan terhadap pihak-pihak yang dinilai mengetahui konstruksi perkara dan dapat membantu mengungkap kasus ini, namun penentuan siapa yang dipanggil akan sepenuhnya bergantung pada kebutuhan penyidik.
Nama Jokowi ikut disebut karena kuota tambahan 20.000 jemaah yang kini dipersoalkan merupakan hasil lobi langsung antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Arab Saudi.
Baca Juga: Menjadi Paskibraka Nasional: Syarat dan Dokumen Pendaftaran 2025
Pelaksana tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa penambahan kuota tersebut dilakukan untuk mengurangi masa tunggu haji reguler yang bisa mencapai lebih dari 15 tahun.
Namun, pembagiannya diduga menyalahi aturan karena dialokasikan secara merata antara haji reguler dan haji khusus, padahal Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 mengatur porsi 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.
Dugaan pelanggaran ini mendorong KPK menerbitkan surat perintah penyidikan umum guna memberikan keleluasaan dalam mengumpulkan bukti dan informasi.
Baca Juga: Dukung Ketahanan Pangan, Gubernur dan Wagub Kalteng Hadiri Panen Raya di Kapuas
Sprindik umum tersebut diterbitkan dengan dasar Pasal 2 Ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP, yang menunjukkan adanya kerugian negara akibat praktik korupsi tersebut.
Kerugian negara yang teridentifikasi dalam kasus ini diperkirakan mencapai lebih dari Rp1 triliun, namun angka tersebut masih bersifat sementara karena perhitungan terus dilakukan KPK bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.