Kaltenglima.com-Mengapa hasil-hasil dari Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (COP) yang berlangsung sejak 1992 gagal mengerem emisi GRK?
Sejumlah ahli menuduh solusi selama ini berjalan dalam kerangka neoliberalisme (kapitalisme) yang melihat krisis ekologi terjadi akibat salah urus kebijakan lingkungan.
Resep yang ditawarkan adalah “ekonomi dan lingkungan, jika dikelola dengan baik, akan saling memperkuat; dan saling mendukung serta didukung oleh inovasi teknologi”.
Resep itu jadi mantra ajaib bagi UNFCC, UNEP, Bank Dunia, IMF, NGO dalam dan luar negeri serta akademisi. Termasuk dalam NDC banyak negara yang dilaporkan ke UNFCC. Formula ini turunan dari pendekatan Anthropocene yang dipopulerkan Profesor Paul Crutzen, penerima Nobel Kimia tahun 1995.
“Anthropocene adalah kisah gampangan, karena konsep itu tidak mempertanyakan lebih lanjut fenomena ketimpangan sosial, alienasi, dan kekerasan yang telah menubuh dalam ekonomi dan kekuasaan,” tulis Jason W. Moore, ahli sosiologi dan geografi.
Naomi Klein, David Harvey, Jason Moore, John Bellamy Foster dan ahli lainnya mengusulkan untuk keluar dari kapitalisme yg jadi akar krisis iklim. Bagaimana caranya?
Tulisan Untung Widyanto, jurnalis lingkungan dan anggota SIEJ, mengulas perdebatan pendekatan Anthropocene dan Capitalocene ini. Sebagaimana dikutip dari mongabay.co.id.
Profesor Paul Crutzen kecewa dengan sikap para pemimpin politik yang kurang serius dan tegas mengatasi perubahan iklim. Menurutnya, jika pemanasan global berada di luar kendali, dibutuhkan “jalur penyelamatan.” Ahli kimia atmosfer asal Belanda ini mengusulkan metode pendinginan iklim global secara artifisial dengan melepaskan partikel belerang di atmosfer bagian atas. Tujuannya untuk memantulkan sinar Matahari sehingga panasnya kembali ke ruang angkasa. Usulan tersebut dia tulis di jurnal Climate Change edisi Agustus 2006.
Pada tahun 1995, Paul Jozef Crutzen, Mario J. Molina dan F. Sherwood Rowland bersama-sama mendapat Penghargaan Nobel Kimia. Dalam artikelnya di jurnal Nature (2002), Crutzen menulis tentang meningkatnya ancaman perubahan iklim. Sebuah “tugas yang menakutkan,” katanya, “terbentang di depan para ilmuwan dan insinyur untuk membimbing masyarakat menuju manajemen yang ramah lingkungan selama era Antroposen.”
Anthropocene (Antroposen) adalah sebutan untuk zaman geologi saat ini yang menggambarkan era baru ketika tindakan manusia memiliki efek drastis di Bumi. Profesor Crutzen, yang kerap kali mengusulkan teknologi geoengineering, inilah yang mempopulerkan konsep Antroposen.
Andaikata masih hidup, boleh jadi Dr Crutzen makin kecewa. Maklum, Bumi terus memanas dan saat ini umat manusia menuai bencana iklim berupa badai, banjir, kekeringan yang silih berganti. Belum lagi dampak perubahan iklim di sektor pertanian, perikanan, kesehatan, hilangnya keanekaragaman hayati dan lainnya.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), badan yang dibentuk PBB untuk mengkaji secara ilmiah perubahan iklim, pada 28 Februari 2022 meluncurkan laporan terbaru bertajuk Climate Change 2022: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Isi laporannya menyeramkan bagi penduduk Bumi.
Di Indonesia, contohnya, pada tahun 2050 sekitar 34 persen orang diprediksi bakal hidup dengan kelangkaan air dibandingkan dengan 14 persen saat ini. Pada sektor pertanian, akan ada penurunan 6 persen produksi beras. Karena suhu makin panas, ikan-ikan akan berpindah dari wilayah tropis, dan mengurangi pendapatan Indonesia dari penangkapan ikan sebesar 24 persen.
Di Asia Tenggara, 99 persen terumbu karang akan mengalami pemutihan dan mati pada tahun 2030 dan 2050. Di seluruh dunia, tulis laporan IPCC 2022, bakal ada kelangkaan air berkepanjangan bagi 3 miliar penduduk (sekitar 42 persen populasi global saat ini) di kawasan subtropis dan kehilangan 50 persen spesies flora dan fauna, dan lainnya.
Sejak dibentuk 1988, sudah puluhan kali IPCC menyampaikan hasil kajiannya kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). UNFCCC dibentuk pada 1992 dan beranggotakan seluruh anggota PBB. Setiap akhir tahun lembaga ini bersidang dengan nama Conference of the Parties (COP).
Sayangnya, rekomendasi IPCC tidak membuat kepala negara/pemerintahan yang hadir untuk tergugah melakukan kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang kuat dan mengikat. Apa yang salah? Apakah ini terkait dengan paradigma Anthropocene atau pendekatan modernisasi ekologi? Apa itu Capitalocene yang jadi pendekatan alternatif?