Anthropocene
Paul Crutzen menjelaskan bahwa titik awal Antroposen bertepatan dengan penemuan mesin uap James Watt pada tahun 1784. Ini adalah awal Revolusi Industri di Eropa Barat yang kemudian diikuti di Amerika Utara. Mereka menggunakan minyak bumi dan batubara untuk menggerakkan pabrik dan memfasilitasi gaya hidup masyarakatnya. Penggunaan teknologi ini makin mempercepat alih fungsi lahan di negara-negara jajahan di Selatan (Afrika, Asia dan Amerika Latin) untuk perkebunan. Selain itu mengeruk lahan tambang untuk bahan baku industri bagi negara-negara Utara (Eropa Barat dan Amerika Utara).
Praktik-praktik penghisapan sumber daya di Selatan ini dilakukan dengan cara perampasan, perbudakan dan kekerasan lainnya. Walhasil, perubahan iklim yang dampaknya kita rasakan saat ini sejatinya adalah bentuk ketidakadilan penggunaan alokasi sumber daya alam. Negara-negara Utara yang jumlah penduduknya lebih sedikit, untuk mencapai kesejahteraannya seperti sekarang telah mengkonsumsi bahan bakar bakar fosil begitu banyak dan lama sehingga mengemisi gas-gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer.
Negara maju dan korporasi raksasa berbasis fosil (minyak bumi, batubara, gas alam) adalah penyumbang terbesar emisi GRK, yakni sebesar 35 miliar ton (35 gigaton) karbon dioksida (CO2) per tahun, atau sekitar 89 persen dari seluruh emisi CO2. Produk-produknya yang dipasarkan ke seluruh dunia semakin memperparah atmosfer. Pembangunan besar-besaran membawa dampak berupa kerusakan lingkungan, termasuk makin naiknya emisi GRK.
Dalam khazanah ilmu ekologi, ada dua pendekatan yang ditawarkan untuk mencegah kerusakan lingkungan agar tidak semakin parah. Pertama, pendekatan modernisasi ekologis (ecological modernization), dan yang kedua adalah pendekatan ekologi radikal (radical ecologies). Pandangan Antroposen selaras dengan pendekatan pertama yang melihat bahwa krisis ekologi terjadi akibat salah urus kebijakan lingkungan.
Ada dua unsur pendekatan modernisasi ekologi. Pertama, adanya perubahan kebijakan negara dalam hal lingkungan. Yaitu: dari yang sifatnya kuratif dan reaktif menjadi kebijakan yang bersifat preventif. Dari yang sifatnya eksklusif ke partisipatif warga; dari yang terpusat menjadi terdesentralisasi; selain itu menciptakan kondisi untuk praktik ramah lingkungan bagi produsen dan konsumen. Unsur kedua, yang harus dilakukan adalah pengalihan tanggung jawab, insentif, dan tugas dari negara ke pasar.
Jadi pendekatan modernisasi ekologi ini berjalan dalam kerangka (kapitalisme) neoliberalisme. Fase terkini dari kapitalisme ini makin mencengkeram ekonomi politik global sejak dekade 1980-an (era Presiden Amerika Ronald Reagan dan PM Inggris Margaret Thatcher). Solusi yang ditawarkan adalah “ekonomi dan lingkungan, jika dikelola dengan baik, akan saling memperkuat; dan mendukung serta didukung oleh inovasi teknologi”.
Seorang anak melihat aliran sungai dan sawah yang mengering di Desa Batujai, Kecamatan Praya, Kabupaten Lombok Tengah, NTB. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia
Resep tersebut mengemuka dalam Konferensi Internasional Ekonomi dan Lingkungan pada Juni 1984. Formula itu terus bermetamorfosa dan belakangan ini menjadi agenda global dengan jargon-jargon yang keren seperti ekonomi hijau, pembangunan berkelanjutan atau build back better.
Resep itu menjadi panduan kebijakan Bank Dunia, IMF, UNEP dan UNFCC. Termasuk di dalamnya oleh korporasi global, lembaga donor, lembaga konservasi dan lembaga swadaya masyarakat (non-government organization). Baik yang bergerak di sektor kehutanan, energi, pertanian dan lainnya. Media massa yang tidak kritis juga mempromosikan jargon-jargon tersebut.
Pada 2011, Hunter Lovins and Boyd Cohen menerbitkan buku berjudul Climate Capitalism: Capitalism in the Age of Climate Change. Kedua penulis yakin bahwa mekanisme pasar sanggup menyelesaikan masalah krisis iklim. Mereka memaparkan sejumlah aksi yang sudah dan dapat dilakukan. Mulai dari efisiensi energi, penggunaan energi terbarukan, green building, transportasi berkelanjutan, pasar karbon dan aksi-aksi adaptasi perubahan iklim.
Semua agenda dan aksi tersebut selaras dengan program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang diterapkan banyak negara, lembaga donor dan riset, perguruan tinggi, dan kelompok masyarakat sipil. Pendekatan modernisasi ekologi menempatkan masalah krisis iklim sebagai problem kebijakan, dan tidak melihatnya sebagai akibat dari beroperasinya sistem kapitalisme. Bahkan, sejumlah ekonom melihat krisis ini sebagai potensi dan peluang untuk akumulasi kapital. Pada titik inilah ada koreksi dari pendekatan ekologi radikal yang mengusulkan perubahan sistem.
Dua perempuan berjalan pulang setelah mencuci dan mengambil air bersih di di Ammatoa Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulsel. Perempuan juga rentan terhadap dampak perubahan iklim karena aksesibilitas dan ketergantungan terhadap alam. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia
Capitalocene
Revolusi Industri menjadi awal periode Anthropocene. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kapitalisme industrial yang secara masif mengeksploitasi bahan bakar fosil dan kekerasan politik untuk membuka lahan-lahan baru dan mengeruk sumber daya alam untuk produksi.
“Anthropocene adalah kisah gampangan, karena konsep itu tidak mempertanyakan lebih lanjut fenomena ketimpangan sosial, alienasi, dan kekerasan yang telah menubuh dalam ekonomi dan kekuasaan,” tulis Jason W. Moore dalam Anthropocene or Capitalocene? Nature, History and the Crisis of Capitalism (2016).