Jason Moore, ahli sosiologi dan geografi Binghamton University, mengusulkan konsep Capitalocene yang memperhitungkan sejarah aktivitas produksi dan akumulasi kapitalis di seluruh dunia. Dengan menarik hubungan positif antara ekonomi-politik dan perusakan alam, implikasinya adalah resiko kepunahan massal sejak awal menjadi masalah politik.
Moore menyebut perubahan iklim disebabkan oleh Capitalocene (Zaman Kapital) dengan menarik titik awal pada tahun 1492 ketika Christopher Colombus menjejakkan kaki di benua Amerika. Langkah yang dilakukan Columbus itu diikuti bangsa Eropa lainnya dengan berlayar ke Afrika dan Asia.
Mereka mencari rempah-rempah, emas dan hasil bumi lainnya. Moore menyebut sebagai Cheap Nature (sumber alam yang lebih murah). Praktik-praktik perampasan alam dan kolonialisme ini dilakukan dengan kekerasan dan perbudakan oleh bangsa-bangsa Eropa terhadap penduduk pribumi di Amerika, Asia dan Afrika.
Tesis Capitalocene mengatakan bahwa untuk memahami krisis planet saat ini, kita perlu melihat kapitalisme sebagai ekologi dunia tentang kekuasaan, produksi, dan reproduksi. Naomi Klein menegaskan bahwa kita mesti menempatkan krisis ekologi ini berhadap-hadapan dengan kapitalisme. Pasalnya, saat ini kapitalisme adalah pemenang di hampir semua lini kehidupan. Oleh karena itu, saran Klein, jurnalis asal Kanada, kita mesti berpikir secara sangat berbeda, sangat radikal agar perubahan itu dimungkinkan dari jauh.
Para pengusung pendekatan ekologi radikal ini yakin bahwa kapitalisme adalah akar masalah dari krisis ekologi saat ini. Karena kapitalisme merupakan sistem sosial ekonomi yang menempatkan pengejaran keuntungan setinggi-tingginya tanpa batas. Untuk melayani mesin produksi keuntungan ini agar tetap bekerja, sektor produksi, distribusi dan konsumsi digenjot semaksimal mungkin dan seglobal mungkin.
Industri-industri raksasa berbasis fosil tersebut melalukan propaganda pemasaran yang masif. Mereka juga menggunakan kemasan plastik. Kini, limbah plastik menjadi ancaman nyata Bumi.
Jalinan rantai produksi, distribusi dan konsumsi ini kemudian membentuk struktur sosial tersendiri. Mereka memainkan psikologi konsumen sehingga selalu mengganti produk yang dianggap telah usang. Mereka adalah penyumbang terbesar emisi karbon di atmosfer.
Melalui pendekatan ekologi radikal ini, krisis lingkungan tidak dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dari krisis sistem ekonomi dan sosial itu sendiri. Sehingga upaya-upaya untuk mencegah kerusakan lingkungan yang semakin parah hanya bisa dilakukan dengan mengubah sistem kapitalisme beserta cara dan gaya hidup kita. Bagaimana caranya ?
John Bellamy Foster dan Fred Magdoff (2011) mengakui prosesnya melalui jalan panjang, berupa perjuangan multifaset yang dinamis demi sebuah budaya dan sistem produksi yang baru. Ini adalah perjuangan melawan sistem kapital, yang harus dimulai dengan melawan logika kapital.
Caranya, kata Foster dan Magdoff, dengan mengupayakan penciptaan di dalam pori-pori sistem ini sebuah sistem metabolisme sosial baru yang berakar pada egalitarianisme, komunitas, dan hubungan berkelanjutan dengan Bumi. Inisiatif ini bisa menjadi cukup kuat untuk membentuk basis bagi gerakan revolusioner dan masyarakat baru.
David Harvey menyebut gerakan bagi perubahan sosial transformatif ini sebagai proses ‘ko-revolusioner’. Harvey mengklaim gerakan politik radikal dapat muncul dalam lingkup apa saja: proses kerja, dalam hubungan dengan alam, dalam relasi sosial, dari kehidupan sehari-hari, dan lainnya. “Kiatnya adalah menjaga gerakan politik bergerak dari satu lingkup ke lingkup lainnya dengan cara yang saling memperkuat,” katanya.
Bolivia di era Presiden Evo Morales, mencoba menerapkan pendekatan ini. Morales yang menjadi pimpinan Partai Gerakan Menuju Sosialisme, ingin mengubah kapitalisme menjadi sistem yang mendukung “hidup baik” alih-alih “hidup lebih wah”. Pada Konferensi Iklim PBB di Kopenhagen, Desember 1999, Evo Morales memberi pernyataan:
“Hidup lebih wah berarti mengeksploitasi manusia. Menjarah sumber daya alam. Egoisme dan individualisme. Karenanya dalam janji-janji kapitalisme, tak ada solidaritas atau saling melengkapi. Tak ada saling timbal balik.
Karena itulah kami mencoba memikirkan cara-cara lain untuk hidup: hidup yang baik, bukan hidup yang lebih wah. Hidup lebih wah selalu mengorbankan yang lain. Hidup lebih wah dengan biaya kerusakan lingkungan.”
*Untung Widyanto, Jurnalis lingkungan lepas, anggota Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ).
Artikel ini pertama kali terbit di laman https://www.mongabay.co.id/2022/03/17/perubahan-iklim-dari-anthropocene-ke-capitalocene/