Kaltenglima.com - Betapa kayanya Indonesia, yang memiliki sumberdaya alam (SDA) yang banyak sekali, tetapi sayang kekayaan alam itu belum memberikan nilai devisa yang berarti, karena masih banyak perusahaan menggunakan jalur black market.
Salah satunya yang mempunyai nilai tinggi tapi belum memberikan devisa yang berarti adalah sarang burung walet. Komoditas ini pun perlu mendapat perhatian dan jangan sampai terlupakan.
"Memang topik walet memang selalu menarik," kata Ketua umum Perkumpulan Pengusaha Sarang Burung Indonesia (PPSBI) Boedi Mranata kepada CNBC Indonesia, yang dikutip kaltenglima.com Kamis (17/3/2022).
Menurut Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, nilai transaksi dari sarang burung walet ini mencapai Rp 500 triliun. Namun, Indonesia harus bisa mendapat izin agar komoditas ini bisa mulus tiba di negara tujuan. Negara yang paling besar menyerap ekspor sarang burung walet dari Indonesia adalah China.
"Ada 23 perusahaan yang mempunyai jalur resmi ke China . Tetapi ada juga jalur yang nggak resmi, bisa lewat Hong Kong, bahkan lewat Vietnam itu lebih besar, volume undervalue ini 4-5 kali lipat dari jalur resmi," sebut Boedi.
Perusahaan dengan penjualan melalui jalur resmi memiliki Eksportir Terdaftar Sarang Burung Walet (ET-SBW). Jumlah perusahaan yang masuk kategori itu sangat kecil dibanding yang masuk lewat jalur tidak resmi alias black market. Perbedaan harganya cukup jauh.
"Tanpa ET bisa aja, namanya nggak ada ketentuan bisa aja undervalue harganya sekitar Rp 600 ribu per Kg. Sedangkan yang ada ET kira-kira diambil rata-rata di atas Rp 20 juta/Kg,"
Barang tentu, untuk meningkatkan devisa negara maka jumlah ekspor sarang burung walet harus lebih banyak yang melalui jalur resmi.
"Dengan diadakan ET maka harga-harga distandardisasi, nggak ada 600 ribu, mungkin per Kg Rp 10-15 juta, jadi akan melonjak devisa karena undervalue udah makin dikit. Itu yang dibahas Pak Lutfi, kalau dengan kebijakan ET maka devisa melonjak meskipun sebenarnya produksi sarang burung segitu aja. Dengan regulasi anyar maka undervalue bisa dicegah dan devisa menurut catatan melonjak,"
Selama ini Indonesia mengandalkan banyak komoditas lain demi mengejar defisit neraca perdagangan, mulai dari lemak dan minyak hewan/nabati, mesin dan perlengkapan elektrik hingga kendaraan dan bagiannya. Sayang, defisit transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD) masih kerap terjadi tiap kuartalnya. Sehingga, besarnya potensi ekspor sarang burung walet membuat pemerintah melirik komoditas ini.
"Kita ini penghasil, pengekspor konon kabarnya 2.000 ton burung walet, 110 ton di antaranya sudah terakreditasi dan dijual langsung ke RRT (Republik Rakyat Tiongkok). Bisa dibayangkan dari 110 ton, 1 Kg nilainya Rp 25 juta dan sisanya kita lewati beberapa negara singgahan. Hong Kong, Vietnam, Malaysia dan ujungnya sampai juga ke RRT. Harga tersebut kita hitung, 2.000 ton saja dikali Rp 25 juta, nilainya Rp 500 triliun, artinya US$ 3,5 billion (miliar)," papar Lutfi beberapa waktu lalu.(**)