Menikah Beda Agama di Indonesia? Ternyata Ada Kekosongan Hukum yang Mengaturnya

photo author
- Sabtu, 19 Maret 2022 | 12:49 WIB
ilustrasi, - Menikah beda agama telah menjadi perdebadan sejak lama, ketentuan hukum pada substansinya  diserahkan kepada agama dan kepercayaan masing-masing, tetapi kenyataannya masih ada yang melanggarnya (indonesia.go.id)
ilustrasi, - Menikah beda agama telah menjadi perdebadan sejak lama, ketentuan hukum pada substansinya diserahkan kepada agama dan kepercayaan masing-masing, tetapi kenyataannya masih ada yang melanggarnya (indonesia.go.id)

kaltenglima.com - Saat ini sedang viral staf khusus presiden yang seorang wanita muslim menikah dengan kekasihnya seorang laki-laki beragama kristen Khatolik. Terlepas Stafsus Presiden, Ayu Kartika Dewi dan Gerald Bastian atau sejumlah artis yang menikah beda agama,

Menikah beda agama di Indonesia memang menjadi perdebatan yang kadang timbul kadang tenggelam.

Pernikahanhttps://www.kaltenglima.com/tag itu sebetulnya ada dihukum agama, tetapi karena menyangkut urusan sosial dan lingkungan masyarakat itu Pemerintah membuat kepastian aturan tentang perkawinan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Sahnya suatu perkawinan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 UU Perkawinan. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya itu.

pada dasarnya hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama sehingga ada kekosongan hukum terkait.

Diana Kusumasari, SH., MH dalam artikelnya yang dipublikasikan hukumonline.com pada 29 Desember 2021 dan diangkat kembali oleh kaltenglima.com Sabtu (19/3/2022)
mengungkapkan, penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya itu.

"Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”). Apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat. Sedangkan, bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya di luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil," sebut Diana.

Dijelaskannya pula, sahnya perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing terkait hukum nikah beda agama.

Sementara itu, Majelis Agama Tingkat Pusat atau yang biasa dikenal dengan (“MATP”) juga telah mengatur mengenai pernikahan beda agama ini. MATP telah memberikan kewenangan sepenuhnya kepada masing-masing agama guna menentukan ketentuan pernikahan masing-masing sesuai dengan ajaran dalam agama tersebut. Termasuk di dalamnya adalah hukum pernikahan beda agama.

Permasalahan yang kerap terjadi, apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama? Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Al Baqarah [2]: 221).

Di Islam sendiri, di mana MUI menjadi instansi tertinggi dalam menentukan keputusannya mengenai nikah beda agama menurut Islam, telah sepakat menyatakan dan memberikan fatwa jika pernikahan beda agama yang dilakukan dalam agama Islam haram hukumnya dan membuat akad nikah dari pernikahan tersebut tidak sah secara agama. Selain itu, juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (II Korintus 6: 14-18).

Akan tetapi, pada praktiknya memang masih dapat terjadi adanya perkawinan beda agama di Indonesia. Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata, menjabarkan ada empat cara populer yang ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan.

Menurut Wahyono, empat cara tersebut adalah, Pertama meminta penetapan pengadilan; Kedua, perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama; Ketiga penundukan sementara pada salah satu hukum agama; Dan keempat Menikah di luar negeri.

Sedangkan yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) juga membahasa melalui Putusan MA No. 1400 K/PDT/1986. Putusan MA tersebut antara lain menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil saat itu diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Kasus ini bermula dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh pemohon perempuan beragama Islam dengan pasangannya beragama Kristen Protestan.

Dalam putusan itu, MA menyatakan, dengan pengajuan pencatatan pernikahan di Kantor Catatan Sipil pasangan yang ingin menikah beda agama telah memilih untuk tidak dilangsungkan pernikahan menurut agama Islam. Artinya, pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya (Islam), maka Kantor Catatan Sipil harus melangsungkan dan mencatatkan perkawinan tersebut sebagai dampak pernikahan beda agama yang dilangsungkan, dan pernikahan itu sah di luar hukum agama.(**)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Delia Anisya Fitri

Tags

Rekomendasi

Terkini

Bupati Bekasi Jadi Tersangka KPK Punya Harta Rp 79,1 M

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:10 WIB

KLH Angkut 116 Ton Sampah di Pasar Cimanggis Tangsel

Jumat, 19 Desember 2025 | 17:50 WIB
X