Pangeran Antasari dengan Gagah Berani Menyerang Tambang Asing

photo author
- Minggu, 13 Februari 2022 | 20:33 WIB
Pahlawan nasional Pangeran Antasari (Deni Hariadi)
Pahlawan nasional Pangeran Antasari (Deni Hariadi)

kaltenglima.com, MUARA TEWEH - Pangeran Antasari dinobatkan sebagai pahlawan nasional melalui SK No. 06/TK/1968 yang dikeluarkan pada 27 Maret 1968. Pahlawan nasional yang identik dengan masyarakat Banjar ini tidak hanya diabadikan dalam pecahan uang rupiah, tetapi juga sebagai nama Komando Resort Militer (Korem) 101 dan nama Universitas Islam Negeri (UIN) di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Antasari bukan orang sembarangan. Perjuangannya menjadi salah satu titik penting sejarah Indonesia, terutama lagi inspirasi bagi perjuangan rakyat di pulau Kalimantan. Dia adalah keturunan penguasa-penguasa Kesultanan Banjar abad XVIII, pengaruhnya bahkan mencapai hingga Kalimantan Timur bagian selatan yang berbatasan dengan Banjar.

Pangeran Amir, Kakek Pangeran Antasari yang seharusnya jadi sultan, dijauhkan dari kekuasaan. Pangeran Nata, yang semula wali dari anak-anak Sultan sebelumnya, akhirnya menjadi penguasa dengan gelar Sultan Tachmidullah II setelah dua saudara Pangeran Amir, Pangeran Rachmat dan Pangeran Abdullah, terbunuh.

Saat Pangeran Amir, yang dibantu orang-orang Bugis, berusaha melawan Pangeran Nata yang telah didapuk menjadi Sultan, Pangeran Nata dapat bala bantuan dari VOC Belanda. Pangeran Nata pun menang atas Pangeran Amir. Tentu saja dukungan yang diberikan VOC tidak gratis. “Kemenangan ini harus dibayar oleh Sultan Tachmidullah II dengan mahal, karena harus memberi konsesi-konsesi yang tercantum dalam kontrak tahun 1787,” tulis M Idwar Saleh dkk., dalam Pangeran Antasari (1993).

Setelah kegagalan perlawanan terhadap rivalnya, Pangeran Amir ditangkap dan dibuang ke Srilangka. Putranya, Pangeran Masohot, masih tinggal di Martapura. Menghindari permusuhan lebih lanjut, Masohot dikawinkan dengan Gusti Hadijah, putri Sultan Soleiman yang berkuasa antara 1801 hingga 1825. Dari perkawinan ini lahirlah Gusti Inu Kartapati, belakangan dikenal sebagai Pangeran Antasari.

Tahun kelahiran Antasari masih simpang siur, antara 1797 dan 1809. Helius Sjamsudin, dalam novel sejarah Antasari, memerkirakan Antasari lahir pada 1809 di di Kayu Tangi. Keluarga Pangeran Masohot ini hidup jauh dari lingkaran istana Banjar. Mereka hidup di sebuah lahan yang membuat mereka hidup relatif sederhana. “Pangeran Antasari (sebelum perlawanannya) tak pernah dikenal oleh Belanda yang berada di (sekitar) lingkungan istana di Martapura,” tulis Idwar dkk.

Sebagai bangsawan, meski terbuang, Antasari punya dua orang istri. Dari istrinya yang dikenal sebagai Ratu Antasari, ia punya anak bernama Gusti Mohamad Seman. VOC boleh saja bangkrut pada akhir 1799, tetapi cengkeraman pemerintah Hindia Belanda terhadap penguasa-penguasa lokal di Nusantara sama kuatnya. Termasuk di Banjar.

Seperti di masa sekarang, Banjar di zaman Pangeran Antasari pun sudah diketahui memiliki potensi batu-bara di tanahnya. Tak heran jika pemerintah Hindia Belanda merasa sangat berkepentingan dengan konstelasi di Banjar. Mereka selalu terlibat jauh dalam urusan suksesi di Kesultanan Banjar. Ketika Pangeran Hidayatullah II dicurangi oleh Belanda sehingga tidak menjadi sultan, Antasari membela sang pangeran.

Pangeran Hidayatullah II yang usianya jauh lebih muda dianggap Antasari layak dan sah menjadi sultan. Belanda lebih suka mengangkat Pangeran Tamjidillah II. Pilihan itu dipicu oleh, menurut catatan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), “karena ia menjanjikan konsesi yang lebih besar [bagi Belanda].”

Hidayatullah II pun tersingkir. Dari 1857 hingga 1859, Sultan Tamjidillah II berkuasa. Setelah 1859, Perang Banjar pun pecah. Pangeran Antasari, bersama Pangeran Hidayatullah II, memimpin perlawanan melawan Pemerintah Belanda. Dalam perlawanannya itu, Pangeran Hidayatullah II dianggap sebagai Sultan Banjar. Pada 18 April 1859, Pangeran Antasari yang makin sepuh dengan gagah berani memimpin penyerangan benteng dan tambang batubara Belanda di Pengaron. Meski tentara Belanda di sana bisa dilumpuhkan, menurut Gusti Mayur dalam buku Perang Banjar (1979), “sangat disayangkan di dalam penggempuran-penggempuran ini, walau beberapa benteng pertahanan (milik Belanda) dapat direbut, namun tidak banyak merebut senjata api.”

Helius Sjamsuddin, dalam Pegustian dan Temenggung (2001) menyebut: "pada tanggal 18 Februari 1860, ia menulis sebuah surat kepada kerabatnya di Kutai, Pangeran Purbasari. Ia juga menyurati pangeran-pangeran lainnya dari Kutai, seperti Pangeran Nata Kusuma, Pangeran Anom, dan Kerta. Mereka semua adalah mata rantai-mata rantai penyelundupan senjata api dan amunisi dari Kutai ke Tanah Dusun." Kala itu yang berkuasa di Kutai adalah Sultan Aji Muhammad Suleiman yang kini namanya diabadikan sebagai nama bandara di Balikpapan.

Menurut Ricklefs, dalam penyerangan di Pengaron itu, pos misionaris juga diserang sehingga orang-orang Eropa terutama Belanda di sana terbunuh. Pihak Belanda yang bercokol di sekitar istana Banjar tentu berusaha keras meredam perlawanan Pangeran Hidayatullah II dan Pengeran Antasari itu. Salah satunya dengan menyandera keluarga Pangeran Hidayatullah II. Hal ini membuat Hidayatullah II terpaksa keluar dari arena gerilya agar keluarganya tak dibunuh. Dengan akal bulus itu, Pangeran Hidayatullah II kemudian dibuang ke Cianjur pada 1862 hingga meninggal dunia pada 1904.

Setelah kepergian Hidayatullah II, Pangeran Antasari yang sudah sepuh pun didaulat oleh para "gerilyawan" sebagai Sultan Banjar dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin, sejak 14 Maret 1862. Tentu saja kuasa Pangeran Antasari tak diakui Belanda. Dia pun meneruskan perlawanannya terhadap Belanda. Perlawanan Antasari tak hanya Kalimantan Selatan saja, tapi termasuk daerah perbatasan Kalimantan Tengah juga. Pengikutnya berdatangan dari berbagai daerah. Daerah-daerah perlawanan Pangeran Antasari itu, menurut Ahmad Basuni dalam buku Pangeran Antasari: Pahlawan Kemerdekaan Nasional dari Kalimantan (1986), terdiri dari beberapa golongan dan suku seperti Banjar Kuala, Banjar Hulu, Dayak dan lain-lain, dan berbagai agama yaitu Islam, Kaharingan dan lain-lain.

Bukan tidak mungkin jika di dalam pasukan Pangeran Antasari terdapat orang-orang yang tidak beragama Islam. Sangat mungkin ada orang-orang beragama Kaharingan atau agama lokal lain yang kini terpinggirkan juga bergabung dengan perlawanan yang dikobarkan Antasari. Kendati menderita masalah paru-paru dan cacar, juga usia yang makin sepuh, Pangeran Antasari tak mau menyerah kepada Belanda.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Deni Hariadi

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

ADARO Gelar TPN XI Daerah Murung Raya

Jumat, 19 Juli 2024 | 10:07 WIB

13 Januari Diperingati Hari Apa? Simak Selengkapnya

Sabtu, 13 Januari 2024 | 18:19 WIB
X