KALTENGLIMA.COM - Resistensi antimikroba (AMR) terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit tidak lagi merespons obat-obatan antimikroba yang biasanya digunakan untuk mengobati infeksi.
Hal ini membuat pengobatan infeksi menjadi lebih sulit, memperpanjang masa sakit, dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit.
Epidemiolog Prof. Wiku Adisasmito menjelaskan bahwa salah satu penyebab resistensi antibiotik adalah penggunaan antibiotik yang tidak bijak, misalnya mengonsumsinya dalam jangka waktu terlalu lama, tidak sesuai aturan, atau menghentikan konsumsi sebelum waktunya.
Baca Juga: Jangan Salah! Ini Dia Dampak Jika Asal Konsumsi Obat Antibiotik
Selain penggunaan obat yang tidak tepat, Prof. Wiku juga mengungkapkan bahwa makanan yang dikonsumsi manusia bisa menjadi faktor penyebab resistensi antibiotik, meskipun kemungkinannya kecil.
Ini terjadi jika hewan yang dikonsumsi telah menerima antibiotik dalam proses pemeliharaannya, baik melalui pakan atau pengobatan.
Namun, ketika antibiotik dihentikan, residu obat tersebut akan hilang dari tubuh hewan seiring waktu melalui ekskresi seperti kotoran atau urin.
Baca Juga: Penyakit Jantung di Usia Muda Terus Meningkat, Ternyata Ini yang Jadi Biang Keroknya
Lebih lanjut, Prof. Wiku menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mengatasi AMR di Indonesia.
Ia menyoroti pentingnya komunikasi antara dokter hewan dan dokter manusia, karena hewan yang diobati dengan antibiotik juga dikonsumsi manusia.
Selain itu, sektor pertanian juga menggunakan antimikroba untuk melindungi komoditas tertentu dari serangan virus, bakteri, atau parasit, yang dapat memengaruhi resistensi antimikroba di masyarakat.