KALTENGLIMA.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memeriksa saksi dalam penyelidikan dugaan korupsi terkait kuota dan penyelenggaraan haji tahun 2023–2024 di Kementerian Agama.
Pemeriksaan yang kini tengah dilakukan secara intensif di Yogyakarta ini bertujuan untuk menghitung secara akurat potensi kerugian keuangan negara.
Pelaksana tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa tim penyidik KPK bersama BPK telah melaksanakan pemeriksaan di Jawa Timur sebelum melanjutkan ke Yogyakarta.
Baca Juga: Menhub Pastikan Tarif Tiket Pesawat Turun Saat Natal dan Tahun Baru
Menurutnya, penyidik secara paralel juga memeriksa sejumlah biro perjalanan atau penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) di wilayah tersebut, dan kegiatan ini akan terus berlanjut dalam waktu dekat.
Asep menambahkan bahwa agen perjalanan haji yang diduga terlibat dalam pengurusan kuota tambahan tersebar di berbagai daerah di Indonesia, sehingga proses pemeriksaan dilakukan dengan hati-hati agar hasil perhitungan kerugian negara benar-benar akurat.
Dalam rangka itu, tim penyidik dan auditor BPK melakukan pemeriksaan langsung di lapangan untuk memastikan nilai pasti kerugian keuangan negara yang timbul dari praktik ini.
Baca Juga: Kompak Naik! Harga Emas Antam, UBS, dan Galeri24 di Pegadaian Mengalami Kenaikan Rabu Ini
Pada 21 Oktober, KPK memeriksa enam saksi di Polresta Yogyakarta. Mereka antara lain Siti Aisyah selaku Direktur PT Saibah Mulia Mandiri, Mochamad Iqbal dari PT Wanda Fatimah Zahra, Mifdol Abdurrahman dari PT Nur Ramadhan Wisata, Tri Winarto dari PT Firdaus Mulia Abadi, Retno Anugerah Andriyani dari PT Hajar Aswad Mubaroq, serta Gugi Harry Wahyudi yang menjabat sebagai Manajer Operasional kantor AMPHURI.
Penyelidikan kasus ini masih menggunakan surat perintah penyidikan (sprindik) umum karena belum ada tersangka yang ditetapkan.
Dasar hukum yang digunakan mengacu pada Pasal 2 Ayat 1 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021, serta Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Baca Juga: Kasus Korupsi Pengolahan Karet, KPK Jerat PNS Kementan Jadi Tersangka
KPK memperkirakan kerugian negara dalam kasus ini mencapai lebih dari satu triliun rupiah, meskipun jumlah tersebut masih bisa bertambah seiring dengan hasil perhitungan lanjutan bersama BPK.
Kasus ini bermula dari pemberian tambahan kuota haji sebanyak 20.000 oleh pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia dengan tujuan memperpendek masa antrean jamaah.
Namun, pembagian kuota yang dilakukan melalui Surat Keputusan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas justru menimbulkan masalah karena dibagi rata, yakni 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus.