Namun, dengan segala mudarat yang dibawanya, kenapa batubara masih jadi primadona di Indonesia?
Selain jadi opsi murah untuk menyalakan pembangkit, batubara kerap disebut berjasa menggenjot penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan menutup defisit neraca perdagangan akut. Selain itu, tentu saja, ia mendongkrak dan melanggengkan kekayaan para taipan.
Para konglomerat pemilik bisnis batubara punya jaringan dan pengaruh kuat di pemerintahan. Maka, jangan heran, rencana membatasi produksi batubara nasional menjadi maksimum 400 juta ton mulai 2019 batal begitu saja.
Larangan ekspor batubara sepanjang Januari 2022 pun bisa dicabut dalam rentang dua minggu setelah diumumkan. Pemerintahan Jokowi boleh sok galak di awal, tapi ujung-ujungnya toh meladeni pula kemauan para oligark batubara.
Per 2020, lima induk usaha batubara terbesar di Indonesia adalah PT Bumi Resources yang dikendalikan keluarga Bakrie, Grup Sinar Mas Mining milik keluarga Widjaja, PT Adaro Energy yang dikontrol bersama oleh keluarga Thohir serta keluarga Soeryadjaya dan kerabatnya, PT Indika Energy yang dikontrol keluarga Sudwikatmono, dan PT Bayan Resources yang dipimpin Low Tuck Kwong.
BUMN industri pertambangan Mining Industry Indonesia (MIND ID) hanya duduk di posisi keenam. Setiap induk itu menaungi berbagai perusahaan berbeda. Informasi ini didapat dengan menggabungkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, laporan tahunan, dan situs resmi berbagai perusahaan “arang”, serta berita berbagai media massa.
Dalam laporan project mulatuli, yang ditulis Viriya Singgih, ada setidaknya delapan oligarki yang menguasai enam induk usaha batubara tersebut: Aburizal Bakrie, Fuganto Widjaja, Sandiaga Uno, Edwin Soeryadjaya, Garibaldi “Boy” Thohir, Erick Thohir, Agus Lasmono, dan Low Tuck Kwong. Ada pula pebisnis batubara yang jumlah produksi perusahaannya sebenarnya relatif kecil, tapi memiliki jaringan dan pengaruh kuat di lingkaran konglomerat, militer, politik, dan pemerintahan: Prabowo Subianto dan Luhut Binsar Pandjaitan.
Data dalam artikel ini diolah dari website masing-masing perusahaan dan data Kementerian ESDM. Sumber wilayah operasi: ESDM One Map Indonesia & laporan tahunan perusahaan. Sumber afiliasi politik: Coalruption (2018).
Laporan ini bagian dari serial reportase #EnergiKotor, terwujud berkat dukungan Earth Journalism Network melalui proyek kolaborasi khusus bertajuk “Available but not Needed”, yang mempertemukan enam media lintas-negara menyingkap kepentingan swasta dan publik mendanai pembangkit berbahan bakar fosil di Asia Tenggara.(***)
Artikel ini pertama kali terbit di laman https://projectmultatuli.org/profil-peta-koneksi-bisnis-dan-politik-10-oligark-batubara-terbesar-di-indonesia-di-bawah-pemerintahan-jokowi/