kaltenglima.com - Lima tahun lalu, pemerintah sudah mengeluarkan PP nomor 49/2018 tentang penghapusan tenaga honorer. Kini pemerintah juga akan terus mengurangi jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Bukan rahasia lagi, jumlah, honorer kian membengkak di daerah. Salah satu alasannya, karena kepala daerah membalas budi kepada tim suksesnya waktu pilkada.
Seringkali pula dalam mengangkat honorer maupun mengusulkan formasi PNS, para kepala daerah berlindung di balik kebijakan membuka lapangan kerja. Padahal semestinya daerah membuka lapangan kerja baru nongol birokrasi. Misalnya lewat pengembangan industri kreatif dan digital.
Lantas, apa akasan di balik kebijakan tersebut? Salah aati alasannya, lantaran jumlah tenaga honorer terus membengkak.
Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian Pendayagunaan Negara dan Reformasi Birokrasi, Alex Denni mengucapkan hal ini, seperti dikutil dari CNBC Indonesia, Minggu (13/3/2022)
Menurut Alex, rencana untuk menghapus tenaga honorer sebenarnya sudah ada sejak 2005. Saat itu, pemerintah melakukan inventarisasi dan diketahui terdapat 900 ribu tenaga honorer.
Dari jumlah tersebut, pemerintah memutuskan bakal mengangkat 860 ribu tenaga honorer menjadi PNS. Sementara, sisanya yang tidak diangkat adalah mereka yang tidak memenuhi kriteria.
"Saat didata ulang membengkak menjadi 600 ribuan," ujar dia.
Pembengkakan itulah yang mendorong adanya Undang-Undang (UU) Aparatur Sipil Negara 5/2014. Di dalamnya dijelaskan hanya ada dua kategori pekerja, yakni PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dua-duanya berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Dengan demikian, tidak boleh lagi ada tenaga honorer di instansi pemerintah.
"Pemerintah dilarang mengangkat tenaga honorer. Jadi semua orang sudah tahu ini enggak boleh, tapi yang diangkat masih diangkat, yang mau masih mau," jelas dia lagi.
Alex juga angkat bicara soal rencana pemerintah untuk transformasi sistem birokrasi yang dampaknya akan mengurangi jumlah ASN secara bertahap.
Dia menjelaskan dari total 4,2 juta ASN sebanyak hampir 38% berstatus sebagai pelaksana dan 36% merupakan guru dan dosen. Sekitar 14% merupakan tenaga kesehatan dan lain-lain, serta 10-11% merupakan pejabat struktural.
"Kalau bicara transformasi digital, tentu (ASN) pelaksana ini yang akan terdampak terlebih dahulu karena pekerjaan akan digantikan teknologi," katanya.
Dalam lima tahun, Alex mengatakan pejabat pelaksana akan berkurang sekitar 30-40% dengan rencana transformasi digital. Artinya, akan ada ratusan ribu PNS yang menjabat sebagai pelaksana akan terdampak.
Adapun rencana transformasi digital akan dilakukan dengan program upskilling atau re-skilling sehingga ASN bisa 'naik kelas' melakukan pekerjaan yang lebih strategis. Adapun ASN berstatus pelaksana yang pensiun tidak akan diganti dengan pegawai baru.