KALTENGLIMA.COM - Makanan yang dikonsumsi setiap hari tidak hanya berdampak pada kondisi fisik, tetapi juga berpengaruh besar terhadap kesehatan mental.
Karena itu, memilih asupan yang bernutrisi menjadi hal yang sangat penting bagi keseimbangan tubuh dan pikiran. Penelitian terbaru dari Pakistan menunjukkan bahwa semakin sering seseorang mengonsumsi makanan ultra-olahan, semakin tinggi pula risiko mengalami depresi.
Temuan yang dikutip dari New York Post ini menyebutkan bahwa konsumsi makanan tersebut dapat meningkatkan peluang depresi hingga 20 persen sampai 50 persen, yang biasanya ditandai dengan hilangnya minat beraktivitas serta munculnya rasa sedih dan putus asa yang berlangsung lama. Para peneliti menegaskan bahwa hubungan ini tetap kuat meski berbagai faktor lain telah disesuaikan.
Baca Juga: Benarkah Gemuk Turunan Tidak Bisa Kurus? Simak Fakta Penelitian
Kesimpulan tersebut diambil setelah meninjau sembilan studi yang melibatkan lebih dari 79.700 peserta. Terdapat sejumlah teori yang menjelaskan hubungan antara makanan ultra-olahan dan risiko depresi.
Salah satunya adalah makanan cepat saji yang dapat memicu lonjakan kadar gula darah secara tiba-tiba, yang kemudian memengaruhi suasana hati, meningkatkan stres, dan memicu kecemasan.
Selain itu, makanan jenis ini cenderung rendah kandungan nutrisi penting seperti vitamin B, vitamin D, magnesium, dan asam lemak omega-3, yang semuanya sangat dibutuhkan untuk menjaga kesehatan otak.
Baca Juga: Waspada! Jangan Anggap Sepele, Ini yang Terjadi pada Otak Jika Sering Nonton Video Pendek
Keterkaitan antara kondisi otak dan kesehatan usus menjadi salah satu aspek penting dalam penelitian ini. Para peneliti menjelaskan bahwa mikrobiota usus pada individu yang mengalami depresi berbeda secara signifikan dibandingkan mereka yang sehat.
Berdasarkan temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa bakteri usus memiliki kemampuan untuk memengaruhi sistem saraf sehingga memicu terjadinya depresi. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa bakteri usus menghasilkan zat kimia pengatur suasana hati seperti serotonin, dopamin, dan GABA.
Ketika keseimbangan bakteri yang sangat sensitif tersebut terganggu, kadar neurotransmitter dapat berubah dan pada akhirnya memicu gangguan suasana hati, termasuk depresi.