Ia menyebutkan bahwa sejak kejadian banjir bandang, tidak ada inisiatif dari gubernur atau bupati untuk berdialog dengan warga.
Meski demikian, pihak adat menyatakan akan menyikapi persoalan ini secara hukum.
Baca Juga: Stabilkan Harga Bahan Pangan dan Pokok, Pemkab Barut Fasilitasi Kerjasama Kemitraan Antara Bumdesa
Salah satu alasan kuat penolakan dari masyarakat adalah karena kawasan TWA Megamendung dianggap sebagai tanah ulayat yang dulunya ditetapkan sebagai hutan lindung oleh pemerintah kolonial Belanda, dan oleh sebab itu, mereka tetap mengklaim kawasan tersebut sebagai bagian dari wilayah adat mereka.