Penangkapan Ikan dengan Sistem Kontrak, KORAL: Perairan Indonesia Bisa Tergadai hingga 30 Tahun

photo author
- Rabu, 16 Maret 2022 | 10:09 WIB
Teks foto: Salah satu kawasan periaran Indonesia ini bisa terancam tergadai dengan kebijakan kontrak tangkap ikan dari KKP (Tim Kalteng lima 02)
Teks foto: Salah satu kawasan periaran Indonesia ini bisa terancam tergadai dengan kebijakan kontrak tangkap ikan dari KKP (Tim Kalteng lima 02)

kaltenglima.com - Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) menolak penerapan sistem kontrak yang tercantum dalam kebijakan Penangkapan Ikan Terukur versi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Sebabnya, menurut KORAL, aturan baru itu mendegradasi peran Negara, karena menjadi sejajar dengan pelaku usaha perikanan. Dampak negatif yang bisa terjadi dengan sistem ini adalah wilayah perairan Indonesia bisa tergadai hingga 30 tahun, di mana pengusaha penangkapan ikan mendapat kontrak untuk mengeksploitasi selama rentang tahun tersebut.

Beleid baru itu diketahui masih digodok dan perlu mendapatkan pandangan akhir dari Presiden. Penolakan disampaikan secara langsung oleh KORAL kepada Dirjen Perikanan Tangkap KKP dalam pertemuan yang dilaksanakan secara hibrid pada Senin, 14 Maret 2022.

Mekanisme Sistem Kontrak, tertuang dalam rancangan kebijakan Penangkapan Terukur1 yang berasal dari kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan dengan ‘Sistem Kontrak’.

Pada rancangan kebijakan tersebut, Sistem Kontrak diartikan sebagai kerja sama pemanfaatan sumber daya ikan antara KKP dengan badan usaha di zona tertentu dalam jangka waktu dan persyaratan tertentu, dengan durasi kontrak selama 15 tahun dan dapat diperpanjang satu kali.
“Dengan adanya potensi perpanjangan tersebut, pelaku usaha bisa mengeksploitasi sumber daya alam di perairan Indonesia selama 30 tahun,”kata Parid Ridwanuddin dari KORAL melalui siaran pers yang diterima redaksi.

Menurut KORAL, peran dan fungsi negara dalam pengelolaan SDA, termasuk Sumber Daya Ikan (SDI), tidak boleh hilang sebagaimana ditegaskan oleh MK dalam putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 dan Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010, yakni:
Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie).
Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif).

Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/ atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.

Ditambahkan KORAL, alih-alih memaksakan penerbitan Kebijakan Penangkapan Ikan secara terukur lewat sistem kontrak, KKP seharusnya fokus menuntaskan beberapa persoalan utama, sebagai berikut:
Pertama, membangun kebijakan pemulihan semua stok kelompok jenis ikan di semua WPP yang mengalami overfishing dan menyusun skema kebijakan penyelamatan wilayah pesisir, perikanan, dan kelautan guna merespons dampak buruk krisis iklim yang dapat berakibat kepada ketahanan pangan.

Laporan terbaru Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang terbit pada 28 Februari 2022 menyebutkan peningkatan suhu akan memaksa ikan berpindah dari wilayah tropis, mengurangi pendapatan nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil di Indonesia sebesar 24 persen.

Kebijakan penangkapan ikan terukur yang menyetarakan nelayan kecil dengan pelaku usaha akan membuat perekonomian nelayan tradisional semakin terpuruk dengan sulitnya mendapatkan ikan di laut.

Kedua, menjalankan mandat UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, yakni kewajiban untuk menyusun skema perlindungan dan pemberdayaan nelayan tradisional, dalam hal: 1) menyediakan prasarana usaha perikanan; 2) kemudahan memperoleh sarana usaha perikanan; 3) jaminan kepastian usaha; 4) jaminan risiko penangkapan ikan; 5) penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi; 6) pengendalian impor Komoditas Perikanan; 7) jaminan keamanan dan keselamatan; 8) fasilitasi dan bantuan hukum; 9) pendidikan dan pelatihan; 10) penyuluhan dan pendampingan; 11) kemitraan usaha; 12) kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi; dan 13) penguatan kelembagaan.

Ketiga, memperkuat perlindungan nelayan tradisional karena acap berhadapan dengan berbagai praktik perampasan ruang hidup dan ruang kelola dalam bentuk proyek reklamasi pesisir, pertambangan laut, industri pariwisata, pembangunan smelter nikel, PLTU batu bara, dan lain sebagainya. Itu sebab, KORAL menuntut komitmen pemerintah untuk segera menyelesaikan perampasan ruang hidup nelayan tradisional.

Keempat, mengevaluasi perencanaan perikanan terukur yang cenderung sektoral dan hanya berada di ranah kewenangan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.
“Hasil analisis kami berdasarkan hasil sensus ekonomi BPS (2016) terlihat bahwa suplai ikan nasional 98,88% berasal dari dalam negeri. Rantai pasok pangan perikanan domestik sangat bergantung kepada kelompok nelayan, koperasi nelayan dan usaha perorangan. Hal yang perlu diperhatikan adalah dampak dari suatu kebijakan bersifat lintas sektor,” kata Parid Ridwanuddin yang juga Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI.

Ditambahkanya, jika kebijakan perikanan terukur diberlakukan dan nelayan kecil tidak mendapatkan kuota penangkapan, praktis akan mengganggu rantai pasok ikan.
Kelima, menegakkan tata kelola perikanan berbasis HAM. Semisal terkait penegakan HAM di Pelabuhan Benjina, Pemerintah hendaknya berhati-hati dalam pemberian izin pengelolaannya sebagai pelabuhan perikanan karena dapat menjadi ancaman bagi pasar ikan Indonesia.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Fadang Irawan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Bupati Bekasi Jadi Tersangka KPK Punya Harta Rp 79,1 M

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:10 WIB

KLH Angkut 116 Ton Sampah di Pasar Cimanggis Tangsel

Jumat, 19 Desember 2025 | 17:50 WIB
X