“Kita tahu bahwa yang pertama kali membongkar kasus pelanggaran HAM di Benjina adalah media asing dan lantas mendapat perhatian internasional yang sangat kuat hingga kini. Sangat disayangkan, KKP mengembalikan pengelolaan Pelabuhan Benjina kepada pihak yang sama, walaupun namanya perusahaannya sudah berganti. Kejadian serupa berpotensi terjadi kembali jika sistem kontrak ini dijalankan,” ujarnya.
Lebih lanjut, pada 3 Desember 2020, Presiden Joko Widodo telah menandatangani dokumen ”Transformations for a Sustainable Ocean Economy: A Vision for Protection, Production, and Prosperity”.
Dokumen ini merupakan bukti Pemerintah Indonesia untuk melakukan perlindungan ekosistem yang efektif, produksi atau pemanfaatan ekonomi kelautan secara berkelanjutan, dan penyejahteraan atau pendistribusian manfaat untuk rakyat secara merata.
Penangkapan ikan dengan kapal yang besar dengan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan akan mengancam kesehatan dan keberlanjutan dari ekosistem laut yang bertentangan dengan prinsip protect effectively.
Ketiadaan data akurat terkait stok sumber daya ikan akan terus memperparah kondisi stok sumber daya ikan yang telah dinyatakan fully and over-exploited yang bertentangan prinsip produce sustainably.
Tidak diutamakannya nelayan kecil dalam perhitungan kuota akan menyebabkan kompetisi yang tidak adil dan ketidakmerataan kesejahteraan manfaat dari hasil laut, dan ini bertentangan dengan prinsip prosper equitably.
Hal ini akan diperparah dengan terus meningkatnya ancaman IUU Fishing yang mengancam kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia.
Selain itu, Pemerintah Indonesia juga masih memiliki tugas besar dalam mencapai target 14 dalam Sustainable Development Goals dimana performa Indonesia masih dalam status “Major challenges remain” dengan indikator terkait (i) perlindungan terhadap biodiversity; (2) Ocean Health Index: Clean Water, (iii) penangkapan ikan melalui trawling dan dredging, masih menjadi tantangan utama di Indonesia.
Untuk itu, KORAL menegaskan kembali kepada Pemerintah untuk tidak terburu-buru menerbitkan sebuah aturan yang sebenarnya masih membutuhkan banyak kajian, termasuk persiapan infrastruktur dan sistem pengawasan yang lebih akurat.
Rencana kebijakan ini sarat masalah dan rawan menimbulkan konflik sosial-ekonomi serta memicu penjarahan sumber daya ikan karena integritas dan kapasitas pengawasan yang lemah. Perlu prakondisi yang mendalam dan penyiapan infrastruktur, dan ujicoba sistematis untuk belajar sebelum suatu kebijakan ditetapkan secara permanen. Prinsip kehatian-hatian perlu diprioritaskan.
Koalisi NGO Untuk Perikanan dan Kelautan Yang Adil dan Berkelanjutan (KORAL) terdiri dari Destructive Fishing Watch (DFW), EcoNusa, Greenpeace Indonesia, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Pandu Laut Nusantara, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Yayasan Terangi.(**)