Namun hingga kini, belum ada keterangan resmi dari Kejagung yang menyebutkan siapa sebenarnya inisiator pengadaan proyek Chromebook.
Dalam pembelaannya, Nadiem melalui tim hukumnya menegaskan bahwa instruksi “go ahead” yang ditemukan dalam percakapan internal bukanlah perintah pelaksanaan proyek, melainkan izin untuk melakukan kajian lebih lanjut mengenai kelayakan dua sistem operasi berbeda.
Pembelaan ini diperkuat dengan pernyataan sejumlah pihak eksternal seperti Najelaa Shihab, yang mengaku memang tergabung dalam grup WhatsApp bersama Nadiem dan staf khususnya, tetapi hanya untuk membahas isu-isu kebijakan pendidikan, bukan pengadaan barang atau proyek pemerintah.
Kasus ini menggambarkan kompleksitas antara kebijakan digitalisasi pendidikan dan potensi penyalahgunaan wewenang di tubuh birokrasi.
Baca Juga: Nahas! Motor Mogok, Remaja di Sumut Ditangkap Warga Usai Begal Payudara
Meskipun proses hukum masih berjalan, publik menanti kejelasan siapa yang benar-benar bertanggung jawab dalam peralihan kebijakan pengadaan Chromebook tersebut.
Jika benar bahwa keputusan awal muncul dari inisiatif staf khusus tanpa arahan langsung menteri, maka kasus ini bisa membuka babak baru dalam penelusuran rantai tanggung jawab pengadaan teknologi pendidikan di Indonesia.
Artikel Terkait
Dorong Transformasi Layanan, Gubernur Agustiar Sabran Resmikan Digital Lounge PT Bank Kalteng
Resep Dimsum Ayam dengan Kalori yang Tetap Sehat
Bupati Shalahuddin Berikan Pesan ke ASN untuk Bekerja Lebih Baik
Ibu Hamil yang Jadi Korban Dokter Iril Terima Restitusi Total Rp 106 Juta
Pemuda di Bali Dituntut 12 Tahun Penjara Usai Setubuhi Pacar Dibawah Umur