KALTENGLIMA.COM - Kementerian Kehutanan Republik Indonesia bersama sejumlah instansi terkait telah menutup secara permanen sembilan titik lokasi ilegal di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Megamendung yang berada di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Penutupan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menyelamatkan kawasan hutan di wilayah tersebut.
Tindakan penutupan dilakukan dengan menyegel area, memasang papan larangan aktivitas, dan berusaha memblokir akses masuk dengan batu besar.
Baca Juga: Setelah Terjatuh dari Puncak, Jovita Pendaki Gunung Muria Ditemukan Tewas
Namun, rencana pemblokiran jalan sempat dihentikan karena mendapat penolakan dari masyarakat setempat, termasuk Wali Nagari Singgalang dan tokoh adat.
Setelah melalui proses negosiasi, akhirnya disepakati bahwa seluruh aktivitas seperti wisata pemandian dan kegiatan perdagangan di kawasan itu tidak diperbolehkan.
Direktur Pencegahan dan Penanganan Pengaduan Kehutanan Kemenhut, Yazid Nurhuda, menegaskan bahwa penghentian segala aktivitas di kawasan seluas sekitar 12 hektare tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan karena seluruh kegiatan yang ada dinyatakan tidak memiliki izin resmi.
Baca Juga: Pendaftaran SPMB PKN STAN 2025 Jenjang Perguruan Tinggi Dibuka, Cek Jadwal dan Syarat Lengkapnya
Selain ilegal, keberadaan bangunan di kawasan tersebut juga dinilai berisiko tinggi karena berada di tepi sungai yang rawan bencana.
Risiko tersebut terbukti dengan terjadinya banjir bandang dan lahar dingin pada 11 Mei 2024 yang menelan korban jiwa di berbagai lokasi.
Pemerintah telah memberikan peringatan larangan kegiatan di area ini, namun peringatan dari Satpol PP dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam tidak diindahkan.
Baca Juga: Pendaki Wanita Asal Brasil Tewas di Gunung Rinjani, Tim SAR Lanjutkan Proses Evakuasi
Melalui kerja sama lintas instansi, termasuk TNI, Polri, pemerintah provinsi dan kabupaten, akhirnya dilakukan penindakan tegas berupa penutupan seluruh aktivitas di kawasan tersebut.
Di sisi lain, tokoh adat dari Nagari Singgalang, Yunelson Datuak Tumangguang, menyayangkan langkah eksekusi yang dilakukan tanpa adanya koordinasi terlebih dahulu dengan masyarakat, termasuk tokoh adat.