Serangkaian Kasus Bullying di PPDS Anestesi Undip, Mantan Ka Prodi Menerima Rp 80 Juta dari Setiap Mahasiswa

photo author
- Selasa, 27 Mei 2025 | 11:15 WIB
Ilustrasi dokter PPDS Anestesi Undip. (Freepik.com / bristekjegor)
Ilustrasi dokter PPDS Anestesi Undip. (Freepik.com / bristekjegor)

KALTENGLIMA.COM - Kasus bullying yang berakhir dengan meninggalnya dr 'ARL', seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di bidang anestesi di Universitas Diponegoro (Undip), kini telah memasuki proses persidangan di Pengadilan Negeri Semarang. Sidang pertama dilaksanakan pada hari Senin (26/5/2025), yang menghadirkan tiga orang terdakwa.

Salah satu dari terdakwa tersebut adalah Zara Yupita Azra, seorang senior dari angkatan 76 di PPDS Anestesi Undip. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan bahwa Zara sebelumnya adalah pembimbing bagi almarhumah dr ARL.

"Dalam pertemuan tersebut, dr. Zara memberikan instruksi kepada angkatan 77 mengenai sistem operan tugas, termasuk penyediaan makanan prolong, joki tugas, serta keperluan lainnya," jelas JPU Shandy dalam persidangan.

Baca Juga: Isyarat Ronaldo Tinggalkan Al Nassr: Bab yang Ini Telah Usai

Terdapat pula ketentuan yang dikenal sebagai 'pasal anestesi' dalam lingkungan PPDS, yang mengatur tata etika interaksi antara mahasiswa junior dan senior. Dalam ketentuan tersebut, diungkapkan prinsip-prinsip seperti 'senior tidak pernah salah', 'jika senior keliru, kembali ke pasal 1', dan larangan untuk mengeluh karena semua pihak dianggap telah melalui proses yang serupa.

Selanjutnya, mahasiswa baru atau semester pertama hanya diizinkan untuk berkomunikasi dengan senior yang berada satu tingkat di atas mereka. Berbicara dengan senior yang lebih dari dua tingkat di atas mereka dilarang, kecuali jika senior yang memulai percakapan. Selain itu, berbicara tanpa izin dapat dianggap sebagai pelanggaran etika.

Lebih jauh lagi, selain adanya praktik perundungan verbal dan psikologis, mahasiswa juga diharuskan untuk menyediakan makanan bagi senior sebagai bagian dari 'tanggung jawab' dalam sistem hierarki. Semua biaya untuk makanan ini sepenuhnya ditanggung oleh junior, tanpa adanya kontribusi dari senior yang menikmati hidangan tersebut.

Baca Juga: Beckam Putra Dipanggil ke Timnas Indonesia?

Tidak hanya itu, junior juga diharuskan membayar untuk pihak ketiga yang mengerjakan tugas akademik milik senior dan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP).

Dalam persidangan yang menghadirkan mantan Kepala Program Studi PPDS Anestesi Undip, dr Taufik Eko Nugroho, serta staf administrasi Sri Maryani, yang menjadi dua tersangka lain dalam kasus dr 'ARL', JPU mengungkapkan adanya praktik pemungutan biaya operasional pendidikan (BOP) dari mahasiswa.

"Terdakwa dr Taufik secara konsisten mewajibkan mahasiswa semester 2 ke atas untuk membayar BOP hingga sekitar Rp 80 juta per orang," ungkap jaksa Shandy.

Baca Juga: Kejar Target 82,9 Juta Penerima MBG, BGN: 14.000 Mitra Calon Sedang Diverifikasi

Dana tersebut dinyatakan untuk mendukung berbagai keperluan akademis, seperti ujian berbasis komputer, OSS, pembuatan tesis, konferensi tingkat nasional, CPD, membaca jurnal, dan publikasi penelitian.

Akan tetapi, sejak tahun 2018 sampai 2023, banyak mahasiswa dari berbagai angkatan mengalami beban dan tekanan akibat kewajiban ini. Meskipun demikian, mereka memutuskan untuk tetap diam karena takut proses pendidikan dan partisipasi ujian mereka akan terganggu jika tidak mengikuti instruksi dr Taufik.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Wanda Hanifah Pramono

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Bupati Bekasi Jadi Tersangka KPK Punya Harta Rp 79,1 M

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:10 WIB

KLH Angkut 116 Ton Sampah di Pasar Cimanggis Tangsel

Jumat, 19 Desember 2025 | 17:50 WIB
X