KALTENGLIMA.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa penerapan pasal kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi kuota dan penyelenggaraan haji tahun 2023–2024 bertujuan untuk memberikan efek jera sekaligus memperbaiki sistem yang ada.
Pelaksana tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa pasal suap umumnya hanya berhenti pada hubungan antara pemberi dan penerima.
Sebaliknya, dengan menggunakan pasal kerugian negara, penyidikan dapat menelusuri lebih jauh mengenai mekanisme yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan.
Baca Juga: Dua Pengoplos Gas LPG Subsidi Dibekuk Polisi di Pekanbaru
Asep mencontohkan bahwa dalam kasus suap, proses hukum biasanya hanya sampai pada pembuktian adanya pemberian uang atau kompensasi antara pihak yang menerima dan yang memberi.
Namun, jika menggunakan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Tipikor, KPK tidak hanya memproses tersangka, tetapi juga mengungkap siapa yang melakukan pelanggaran hukum serta bagaimana sistem penyelenggaraan haji hingga akhirnya terjadi kebocoran.
Dari situ, KPK dapat melakukan evaluasi terhadap titik-titik rawan korupsi untuk kemudian disampaikan kepada Kementerian Haji sebagai langkah pencegahan agar kebocoran anggaran tidak berulang di tahun-tahun berikutnya.
Baca Juga: Gubernur Kalbar Ria Norsan Bakal Dipanggil KPK dalam Perkara Korupsi Mempawah
Sebelumnya, KPK menyebut bahwa kasus dugaan korupsi haji ini akan segera memasuki babak baru dengan penetapan tersangka dalam waktu dekat.
Proses hukum yang dijalankan menggunakan sprindik umum dengan dasar Pasal 2 ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Dugaan kerugian negara dalam kasus ini ditaksir mencapai lebih dari Rp1 triliun, meski angka tersebut masih bersifat sementara karena KPK bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masih melakukan perhitungan.
Baca Juga: Pemerintah Siapkan 1.900 Ton Beras Khusus untuk Program Bantuan Pangan hingga 2025
Kasus berawal dari pemberian tambahan 20.000 kuota haji dari pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia untuk mengurangi antrean jamaah.
Namun, pembagiannya menyalahi aturan karena dibagi rata, yaitu 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus, padahal aturan mengamanatkan 92 persen untuk reguler dan hanya 8 persen untuk haji khusus.
Skema bermasalah ini diduga dipengaruhi adanya aliran uang dari pihak travel haji, umrah, maupun asosiasi kepada Kementerian Agama. Kuota tambahan tersebut kemudian dijual kembali kepada calon jamaah.
Artikel Terkait
Remaja Tenggelam di Kali Kramat Jati, Tim Damkar Terus Lakukan Pencarian
Pemerintah Siapkan 1.900 Ton Beras Khusus untuk Program Bantuan Pangan hingga 2025
Kasus Asusila Putri Nikita Mirzani, Vadel Badjideh Divonis 9 Tahun Bui
Gubernur Kalbar Ria Norsan Bakal Dipanggil KPK dalam Perkara Korupsi Mempawah