KALTENGLIMA.COM - Sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Circulation mengungkap bahwa perempuan yang pernah menjadi korban penguntitan atau stalking memiliki risiko lebih tinggi mengalami penyakit jantung dan stroke dalam jangka panjang.
Studi ini melibatkan lebih dari 66 ribu perempuan yang diikuti selama 20 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa mereka yang pernah mengalami stalking, baik oleh mantan pasangan, pasangan saat ini, maupun orang lain, memiliki kemungkinan 41 persen lebih besar menderita penyakit kardiovaskular dibandingkan dengan perempuan yang tidak pernah mengalaminya.
Risiko bahkan meningkat hingga 70 persen pada perempuan yang sampai harus mengajukan perintah perlindungan hukum.
Menurut Karestan Koenen, profesor epidemiologi psikiatri di Universitas Harvard sekaligus penulis utama penelitian, banyak orang menganggap stalking bukan masalah besar karena biasanya tidak melibatkan kekerasan fisik.
Padahal, bentuk kekerasan non-fisik seperti ini dapat menimbulkan dampak psikologis serius yang pada akhirnya memengaruhi kesehatan fisik.
Ia menekankan bahwa stalking seharusnya dipandang sebagai faktor risiko kesehatan setara dengan merokok atau pola makan yang tidak sehat.
Baca Juga: Mahfud MD Tegaskan Aparat Harus Tindak Tegas Jika Ada Makar dari Gelombang Aksi Massa
Data dari CDC (Centers for Disease Control and Prevention) menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 3 perempuan dan 1 dari 6 laki-laki di Amerika Serikat pernah mengalami stalking.
Di Uni Eropa, prevalensinya rata-rata 18,5 persen, dengan angka terendah 8,5 persen di Lituania dan tertinggi 32,4 persen di Slovakia.
Bentuk stalking bisa beragam, mulai dari mengikuti korban, mengawasi gerak-geriknya, mendatangi tanpa izin, hingga melakukan pelecehan secara daring.
Baca Juga: Akademisi: Pemerintah Diminta Tetapkan Standar Kesejahteraan Guru
Sayangnya, isu ini masih jarang diteliti dalam ranah medis, padahal dampaknya bisa menimbulkan trauma psikologis mendalam sekaligus gangguan kesehatan fisik.